09 May NAIK TURUN HARGA STIRENA! PRODUSEN HARUS POTONG PRODUKSI? [BREAKING NEWS]
Harga di pasar Stirena Asia masih saja fluktuatif.
Bagaimana kondisi harganya?
Apa penyebab naik-turun harganya?
PrimaPlastindo.co.id, JAKARTA—Harga spot stirena sempat melemah di pertengahan bulan April, tapi di minggu keempat kembali menguat akibat dari reboundnya harga minyak.
Bagaimana kondisi harganya?
Saat ini, rata-rata harganya ada di 1340 Dollar per ton. Setelah 5 minggu berturut-turut naik-turun, kelihatannya harga Stirena cukup stabil di penghujung bulan April. Bagaimanapun juga, banyak pelaku pasar tetap waspada melihat perkembangan volatilitas harga minyak yang berpengaruh langsung pada harga stirena ini.
Apa yang menyebabkan harga Stirena begitu fluktuatif di minggu-minggu sebelumnya?
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Yang pertama adalah tumbuhnya kelebihan pasokan Stirena di berbagai wilayah, akibat dari kemacetan logistik gara-gara lockdown ketat yang diterapkan pemerintah China. Banyak kontainer jadi tertahan di pelabuhan Shanghai, membuat antrian panjang lalu lintas logistik di Asia. Ditambah lagi, akibat dari penerapan zero tolerance policy dari pemerintah China, banyak pabrik di sana jadi terbatas produksi – kebanyakan malah terpaksa tutup sama sekali. Ini membuat permintaan pasar Stirena jadi turun drastis, bahkan membuat harganya juga jadi terjun bebas.
Tapi di sisi lain, jatuhnya harga Stirena ini tertahan lajunya oleh tingginya harga Nafta yang mengikuti level harga minyak. Melihat harga Stirena yang terjun bebas seperti ini, ditambah harga bahan baku yang tinggi, ditambah pula dengan biaya energi operasional yang naik, margin banyak produsen biji plastik PS jadi semakin tergencet. Makanya sejak awal April, banyak produsen terlihat memangkas tingkat produksi mereka, untuk mendongkrak kembali harga pasar Stirena. Langkah ini juga diambil agar pasokan yang ada di pasar tidak terbanjiri hasil produksi baru.
Produsen mana saja yang memotong produksi mereka?
Sebagian besar produsen di wilayah Asia melakukannya. Di Korea Selatan, ada Hanhwa Total yang memangkas tingkat produksi mereka sebesar 20%, disusul juga oleh Lotte Chemicals dan LG Chemical yang saat ini beroperasi pada tingkat 80%an saja. Tidak hanya di Korsel, CPC di Taiwan juga melakukan hal yang sama, saat ini bahkan mereka hanya beroperassi pada tingkat 60% saja cracker Naftanya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Satu-satunya produsen Indonesia, Chandra Asri, bahkan telah menutup sementara unitnya yang berkapasitas 100.000 ton per tahun. Ini membuat kapasitas produksi mereka turun sekitar 30% dari total 350.000 ton per ton.